MAKALAH
FIQH MUAMALAH
“GADAI (RAHN)”
DISUSUN OLEH
KELOMPOK
5 :
Deta Lestari
Deta Lestari
Zeza Meiri Senthia
Perbankan
Syariah 4A
Dosen Pengampuh:
Khairiah El Wardah, M.Ag
Dosen Pengampuh:
Khairiah El Wardah, M.Ag
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PRODI
PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
TAHUN
2016
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah
SWT, Tuhan semesta alam. Atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat
merampungkan makalah ini yang Alhamdulillah sudah ada ditangan pembaca.
Kata terima kasih tak lupa
kami ucapkan kepada rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi, atas
bantuan dan partisipasinya untuk penyelesaian makalah ini. Adapun isi makalah
ini tentang Fiqh Muammalah Gadai (Rahn).
Besar harapan kami agar
makalah ini dapat berguna untuk para rekan-rekan sesama mahasiswa dan mahasiswi
dalam proses perkuliahan untuk membantu Mahasiswa(i) dalam mencari informasi
yang relevan dan aktual serta menambah dan memperluas wawasan kita mengenai
ekonomi.
Akhir kata yang kami
ucapkan mohon maaf jika dalam prose penulisan makalah ini banyak kekurangan
disana dan disini. Pikiran kritis dan sumbang saran sangat diharapkan demi
perbaikan makalah ini.
Bengkulu, April 2016
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam agama yang lengkap dan sempurna
telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan
manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap
orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan
dan saling tolong menolong diantara mereka. Karena itulah sangat perlu sekali
kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari,
diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia, khususnya
berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.
Hutang piutang terkadang
tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena ketidakpercayaan
diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk
meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya. Dalam
hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan
salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai
boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan rukunnya.
Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut senghingga
tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tampa mengetahui
dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu kami akan mencoba sedikit
menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian Gadai (Rahn) ?
2. Apa
saja Dasar
Hukum Rahn ?
3. Apa
saja Rukun
dan Syarat Gadai (Rahn) ?
4. Bagaimana
Ketentuan Umum Pelaksanaan Rahn dalam Islam ?
5. Bagaimana Aplikasi dalam Perbankan ?
6. Apa Manfaat Rahn ?
7. Apa saja Resiko Rahn
?
8. Bagaimana Perbedaan & Persamaan Gadai Syariah dan Konvensional ?
8. Bagaimana Perbedaan & Persamaan Gadai Syariah dan Konvensional ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian
Gadai (Rahn)
2.
Untuk mengetahui Dasar
Hukum Rahn
3.
Untuk mengetahui Rukun
dan Syarat Gadai (Rahn)
4.
Untuk mengetahui Ketentuan Umum Pelaksanaan Rahn dalam Islam
5.
Untuk mengetahui Aplikasi dalam Perbankan
6.
Untuk mengetahui Manfaat Rahn
7.
Untuk mengetahui Resiko Rahn
8.
Untuk mengetahui Bagaimana Perbedaan & Persamaan Gadai Syariah dan Konvensional
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Gadai (Rahn)
Gadai
atau al-rahn (الرهن) secara bahasa dapat diartikan
sebagai (al stubut,al habs) yaitu penetapan dan penahanan.[1]
Istilah
hukum positif di indonesia rahn adalah apa yang disebut barang jaminan,
agunan, rungguhan, cagar atau cagaran, dan tanggungan.
Azhar Basyir memaknai rahn (gadai)
sebagai perbuatan menjadikan suatu benda yang bernilai menurut pandangan syara’
sebagai tanggungan uang, dimana adanya benda yang menjadi tanggungan itu di
seluruh atau sebagian utang dapat di terima. Dalam hukum adat gadai di artikan
sebagai menyerahkan tanah untuk menerima sejumlah uang secara tunai, dengan
ketentuan si penjual (penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan
jalan menebusnya kembali.[2]
Al-rahn adalah menahan salah satu
harta milik si peminjam atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang di tahan
tersebut memiliki nilai
ekonomis. Dengan
demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali
seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn
adalah semacam jaminan hutang atau gadai. Pemilik barang gadai disebut rahin
dan orang yang mengutangkan yaitu orang yang mengambil barang tersebut
serta menahannya disebut murtahin, sedangkan barang yang di gadaikan
disebut rahn
B. Dasar Hukum Rahn
Akad rahn diperbolehkan oleh
syara’ dengan berbagai dalil Al-Qur’an ataupun Hadits nabi SAW. Begitu juga
dalam ijma’ ulama’. Diantaranya
firman
Allah dalam Qs.Al-baqarah; 283
وَإِن
كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ
أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَه وَلْيَتَّقِ
اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ
آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَعَلِيمٌ ُ
Artinya: "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh piutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya". (Al-Baqarah 283). [3]
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ
النَّبِىُّ – صل الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ
وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا
ى
Artinya: " Rasullulah SAW, telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madina, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau". (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
C.
Rukun
dan Syarat Gadai (Rahn)
Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat gadai yang
harus dipenuhi. Secara bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya
suatu pekerjaan. Sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang
harus dipindahkan dan dilakukan. Gadai atau pinjaman dengan jaminan benda
memiliki beberapa rukun, antara lain :
1. Akad
dan ijab Kabul
3.
Barang yang dijadikan
jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang
itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.
Syarat Rahn
antara lain : [5]
1. Rahin
dan murtahin
Tentang
pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya merupakan orang yang cakap
untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam
yaitu berakal dan baligh.
2.
Sighat
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat
dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini
karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut
batal dan rahn tetap sah.
3.
Marhun bih (utang)
Menyangkut adanya
utang, bahwa utang tersebut disyaratkan merupakan utang yang tetap, dengan kata
lain utang tersebut bukan merupakan utang yang bertambah-tambah atau utang yang
mempunyai bunga, sebab seandainya utang tersebut merupakan utang yang berbunga maka
perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba,
sedangkan perbuatan riba ini bertentangan dengan ketentuan syari'at Islam.
D. Ketentuan
Umum Pelaksanaan Rahn dalam Islam
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pelaksanaan ar-rahn antara lain:
1.
Kedudukan Barang Gadai.
Selama
ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu
amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai.
2.
Pemanfaatan Barang Gadai.
Pada
dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya baik oleh pemiliknya
maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya
sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Apabila mendapat
izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh
dimanfaatkan. Oleh karena itu agar di dalam perjanjian gadai itu tercantum
ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan
barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama. Ketentuan ini dimaksudkan
untuk menghindari harta benda tidak berfungsi atau mubazir.
4.
Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai
Ada
beberapa pendapat mengenai kerusakan barang gadai yang di sebabkan tanpa
kesengajaan murtahin. Ulama mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa
murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko sebesar harga barang
yang minimum. Penghitungan di mulai pada saat diserahkannya barang gadai kepada
murtahin sampai hari rusak atau hilang.
5. Pemeliharaan Barang Gadai
Para ulama’ Syafi’iyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan
penggadai dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap
merupakan miliknya. Sedangkan para ulama’ Hanafiyah berpendapat lain, biaya
yang diperlukan untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi
tanggungan penerima gadai dalam kedudukanya sebagai orang yang menerima amanat.
5. Kategori Barang Gadai
Jenis barang yang biasa digadaikan sebagai
jaminan adalah semua barang bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Benda bernilai
menurut hukum syara’
b. Benda berwujud pada
waktu perjanjian terjadi
c. Benda diserahkan
seketika kepada murtahin
6. Pembayaran atau
Pelunasan Utang Gadai.
Apabila sampai pada waktu yang sudah di
tentukan, rahin belum juga membayar kembali utangnya, maka rahin dapat
dipaksa oleh marhun untuk
menjual barang gadaianya dan kemudian digunakan untuk melunasi hutangnya.
7. Prosedur Pelelangan
Gadai
Jumhur
fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual atau
menghibahkan barang gadai, sedangkan bagi penerima gadai dibolehkan menjual
barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak dapat
melunasi kewajibanya.[6]
E.
Aplikasi dalam Perbankan
Kontrak rahn dipakai
dalam perbankan dalam dua hal, yaitu:
1. Sebagai Produk Pelengkap
Rahn
dipakai
dalam produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral) terhadap
produk lain seperti dalam pembiayaan bai’al murabahah. Bank dapat
menahan nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
2. Sebagai Produk
Tersendiri
Di
beberapa negara Islam termasuk di antaranya adalah Malaysia, akad rahn telah
dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian
biasa, dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari
nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
Perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga pegadaian adalah dari sifat
bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sementara biaya rahn hanya
sekali dan di tetapkan di muka.
F.
Manfaat Rahn
Manfaat
yang dapat di ambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah:
1.
Menjaga kemungkinan
nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan
fasilitas pembiayaan yang diberikan.
2.
Memberikan keamanan
bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang
begitu saja. Jika nasabah peminjam ingkar janji, ada suatu asset atau barang (marhun)
yang dipegang oleh bank.
3.
Jika rahn diterapkan
dalam mekanisme pegadaian, maka akan sangat membantu saudara kita yang
kesulitan dana terutama didaerah-daerah.
G. Risiko
Rahn
Adapun resiko yang mungkin terdapat
pada rahn apabila diterapkan sebagai produk adalah:
1. Resiko tak
terbayarnya hutang nasabah (wanprestasi)
2.
Resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.
H. Perbedaan
dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional
a. Persamaan Gadai Konvensional
dengan Gadai Syariah
Persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah
adalah seperti berikut:
1.
Hak
gadai berlaku atas pinjaman uang
2.
Adanya
agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang
3. Apabila batas waktu pinjaman uang
telah habis , barang yang di gadaikan boleh di jual atau di lelang
b. Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional
Perbedaan
gadai syariah dengan gadai konvensional adalah sebagai berikut:
INDIKATOR
|
Rahn ( Gadai Syariah )
|
Gadai Konvensional
|
Konsep
Dasar
|
Tolong menolong ( jasa pemeliharaan
barang jaminan)
|
Profit Oriented ( Bunga dari pinjaman
pokok/ biaya sewa modal)
|
Jenis Barang Jaminan
|
Barang bergerak dan tidak bergerak
|
Hanya barang bergerak
|
Beban
|
Biaya pembiayaan
|
Bunga (dari pokok pinjaman)
|
Lembaga
|
Hanya bisa dilakukan oleh lembaga
(perum penggadaian)
|
Bisa dilakukan perseorangan
|
Perlakuan
|
Dijual (kelebihan dikembalikan kepada
yang memiliki)
|
Dilelang
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan
hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”,
Rahn termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila
sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam,
titipan dan qirad.
Dalam dasar hukum gadai, ada
dalil-dalil yang melandasi di perbolehkannya gadai yang bersal dari Al-Qur’an
dan hadis. Rukun gadai yaitu akad dan ijab Kabul, akid, barang
yang di jadikan jaminan (borg).
Perbedaan
rahn syariah
dan konvensional yaitu gadai
syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari keuntungan, seadangakn gadai
konvensional dilakukan dengan prinsip tolong- menolong tetapi juga menarik
keuntungan. Dan persamaan rahn dengan gadai yaitu adanya agunan (barang
jaminan) sebagai jaminan utang.
B. Saran
Dalam makalah ini
masih banyak kekurangan, baik dari kapasitas materinya yang kurang. Mohon
kritik dan saran yang membangun sebagai bahan instropeksi kami dalam penyusunan
sebuah makalah.
DAFTAR
PUSTAKA
Depag RI, 1974, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Jakarta: Bumi Restu.
Muhammad
dan Sholikhul Hadi, 2003, Pengadaian
Syari’ah, Jakarta: Salembadiniyah.
Muttaqien,
Dadan, 2009, Aspek Legal Lembaga Keungan
Syari’ah, cet 1, Yogyakarta: Safira Insani Press.
Sabiq, Sayyid, 1990, Fiqh al-Sunnah al-Majadallad al-Tsalis, Kairo: Dar al-fath
lil I’lam al-‘Arabi.
Sabiq, Sayyid , 2001, Fikih Sunnah, Jakarta: PT Grafindo Persada.
Sarwat, ahmad, 2002, Fikih Sehari-hari, Jakarta: PT Gramedia.
Sutedi, andrian, 2011, Hukum Gadai Syariah,
Bandung:
Alfabeta.
[1]
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Majadallad al-Tsalis, (Kairo: Dar al-fath lil I’lam al-‘Arabi, 1990), hlm. 123.
[2] Dadan Muttaqien, Aspek Legal Lembaga Keungan Syari’ah, cet 1, (Yogyakarta: Safira
Insani Press, 2009), hlm.106-107.
[3]
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,( Jakarta: Bumi Restu, 1974), hlm.49.
[5]
Ahmad Sarwat, Fikih sehari-hari, (
Jakarta: PT Gramedia, 2002), hlm.92.